Home » » Materi Hak Atas Kekayaan Intelektual UNNES

Materi Hak Atas Kekayaan Intelektual UNNES



Artikel ini cuplikan dari ringkasan disertasi Dr Padma D Liman SH MHum dalam ujian terbuka doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga 17 Maret 2009. Media online GagasanHukum.WordPress.Com memuat sebagai artikel bersambung. Bagian I edisi Kamis 26 Maret 2009, Bagian II edisi Kamis 2 April . Bagian III edisi Kamis 9 April 2009. Bagian IV edisi Kamis 16 April 2009. Bagian V edisi Kamis 23 April 2009. Bagian VI edisi Kamis 30 April 2009. Bagian VII edisi Kamis 7 Mei 2009. Bagian VIII edisi Kamis 14 Mei 2009. Bagian IX edisi Kamis 21 Meil 2009.

Prinsip Perlindungan Rahasia Dagang dalam TRIPs

Setelah perang dunia kedua berakhir, sistem perdagangan antar negara-negara dunia mengalami kekacauan. Penerapan pe-raturan perdagangan antar negara didasarkan pada kepentingan masing-masing negara sehingga terjadi persaingan curang dalam dunia perdagangan. Karena itulah maka pada tahun 1947 diadakan perundingan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) .[1] Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia, maka GATT 1947 ini telah mengalami beberapa kali putaran perundingan[2] untuk merevisi hal-hal yang sudah diperjanjikan. Pada putaran perundingan GATT yang ke VIII menghasilkan berbagai perjanjian di antaranya adalah perjanjian tentang pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang lampiran (annex) 1C nya adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Ruang lingkup GATT 1947 yang semula hanya meliputi perdagangan barang saja menjadi bertambah pada GATT 1994, yaitu meliputi perdagangan jasa dan berbagai perjanjian yang terkait dengan perdagangan seperti masalah HKI dan penanaman modal asing.
Sebelum pengaturan TRIPs dalam WTO, sudah ada organi-sasi internasional sebelumnya, yaitu World Intellectual Property Organization (WIPO). Akan tetapi dengan meningkatnya perda-gangan antar negara, meningkat pula pelanggaran HKI. Banyak pembajakan dan pemalsuan barang dalam perdagangan yang tidak mampu diselesaikan oleh WIPO. Oleh karenanya HKI diatur lagi dalam WTO.,Kesepakatan-kesepakatan atau konvensi-konvensi internasional HKI dalam WIPOmasih berlaku dalam TRIPs, terma- suk prinsip-prinsip GATT 1947 dan GATT 1994, sebagaimana dike- mukakan dalam Article 2 TRIPs. Pasal ini secara tegas mengisya- ratkan bahwa basis minimal perlindungan HKI masih berdasarkan pada 4 (empat) konvensi internasional yang telah ada sebelumnya. Demikian pula dalamArticle 1 paragrah 3 TRIPs mengatur subyek hak yang dapat dilindungi oleh TRIPsadalah subyek hak yang ditentukan dalam keempat konvensi internasional tersebut.
Menurut Achmad Zen Umar Purba[3], TRIPs memiliki beberapa prinsip, yaitu :
a. Prinsip Standar Minimum;
b. Prinsip National Treatment
c. Prinsip Most Favoured National Treatment (MFN)

Berdasarkan prinsip Standar Minimum, TRIPs hanya me-muat ketentuan-ketentuan minimum yang wajib diikuti oleh negara anggotanya[4]. Pengaturan perlindungan hukum domestik anggota peserta, minimal harus sama dengan TRIPsdan boleh lebih luas tetapi tidak boleh lebih rendah. TRIPs hanya mengatur ketentuan standard yang minimum. sehingga pesertanya dapat menerapkan pengaturan internalnya minimal harus sama dengan yang telah ditentukan dalamTRIPs. Apabila pengaturan perlindungan dalam TRIPs dianggap kurang memadai maka dapat dibuat pengaturan internal yang lebih luas atau lebih baik. Tujuan Prinsip ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada anggota peserta yang merupakan negara berkembang (developing country) atau negara tertinggal (least developed country) untuk memilih (legislative choice) dan menyesuaikan pembuatanperundang-undangan HKI dengan kondisi kebutuhan negaranya masing-masing[5]. Hal ini diatur dalam Part VI TRIPs mengenai ketentuan peralihan (Tran- sitional Arrangements), yang memberi kesempatan untuk menunda pelaksanaan ketentuan-ketentuan TRIPs selama jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal berlakunya persetujuan ini[6], bagi anggota peserta yang merupakan :
- negara berkembang (Article 65 paragrah 2);
- negara yang berada dalam proses transformasi dari sistem ekonomi terpusat menjadi sistem ekonomi pasar dan sedang melakukan refor¬masi struktural pada sistem HKInya dan menghadapi permasalahan khusus dalam persiapan dan penerapan hukum tentang HKI (Article 65 paragrah 3);

Penundaan ini dapat dilakukan sepanjang negara-negara tersebut wajib menjamin bahwa segala perubahan di dalam hukum, pera-turan perundang-undangan dan praktek di dalam negeri yang dilakukan selama masa transisi tersebut tidak akan menghasil¬kan keadaan yang tidak atau kurang konsisten dengan ketentuan yang tertuang dalam Persetujuan ini (Article 65 paragrah 4).
Bagi anggota peserta yang merupakan negara tertinggal, berdasarkan kebutuhan dan persyaratan khusus baginya, keadaan ekonominya, hambatan finansial dan administrasinya, serta kebu- tuhan akan fleksibilitas dalam rangka menciptakan landasan yang mapan bagi teknologinya, tidak diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam Persetujuan ini, untuk jangka wak- tu selama 10 tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Persetujuan ini. Jangka waktu ini wajib diperpanjang oleh Dewan TRIPs jika ada permohonan dari Anggota peserta yang bersangkutan. Untuk mendukung percepatan negara berkembang dan negara tertinggal dalam melaksanakan atau menerapkan persetujuan TRIPs ini maka negara maju mempunyai kewajiban :
- menyediakan kemudah¬an/insentif kepada perusahaan besar dan institusi yang berada dalam wilayah mereka agar meningkatkan dan menggiatkan alih teknologi kepada Anggota yang merupa- kan negara tertinggal agar mempu menciptakan landasan teknologinya yang sehat dan berhasil (Article 66 paragrah 2).
- melakukan kerjasama teknik dan financial yang menguntung- kan negara berkembang dan negara tertinggal tersebut. Kerja sama[7] ini berupa bantuan dalam penyiapan peraturan perun- dang-undangan perlindungan dan penegakan HKI sekaligus sebagai pencegahan penyalahgunaan haknya dan mendukung penetapan atau penegakan kembali kantor-kantor dan perwakil- an domestik yang berkaitan dengan masalah ini, termasuk masalah pelatihan sumber daya manusianya (Article 67).

Berdasarkan Prinsip National Treatment yang idenya dia- dopsi dari Article 2 Paris convention dan Article III GATT 1947, menetapkan bahwa setiap negara anggota peserta TRIPs wajib memberikan perlakuan yang sama antara warga negara sendiri de-ngan warga negara asing dalam hal perlindungan HKI. Prinsip ini berbeda dengan Prinsip Resiprositas atau asas timbal balik. Tujuan prinsipNational Treatment adalah untuk menciptakan harmonisasi perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang dis-kriminastif di pasar domestik, sebab pasar domestik tidak terlepas dari pasar internasional suatu negara yang menginginkan barangnya laku di negara lain.
Dari definisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa unsur-unsur prinsipNational Treatment, adalah :
a. Ada kepentingan dari negara-negara peserta.
b. Kepentingan itu berada dalam wilayah dan termasuk dalam yurisdiksi suatu negara.
c. Negara tuan rumah harus memperlakukan kepentingan negara asing sama baiknya dengan kepentingannya sendiri.
d. Perlakuan tersebut tidak boleh mmerugikan negara asing dan hanya menguntungkan negaranya sendiri.

Prinsip National Treatment tidak berlaku jika berkaitan de- ngan prosedur yudisial dan administratif di satu negara[8]. Prinsip ini juga dapat dikesampingkan oleh negara yang menggunakan per- syaratan khusus (special reservation)sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Berne dan Pasal 16 ayat (1) huruf (b) Konvensi Roma. Menurut Article 3 paragrah 1 TRIPs jika prinsip ini akan dikesampingkan maka wajib menyampaikan notifi- kasi kepada Council for TRIPs atau Dewan TRIPs. Notifikasi ini dapat juga diajukan karena suatu negara tidak mendapatkan perlin-dungan dan perlakuan yang layak dalam HKI dari suatu negara peserta lain, maka negara peserta yang tidak diperlakukan layak ini dapatmenolak untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) yang ditentukan oleh Prinsip National Treatment. .
Selanjutnya Prinsip Most Favoured Nation Treatment (MFN) menentukan bahwa pemberian sesuatu kemanfaatan (advan- tage), keberpihakan (favour), hak istimewa (privilege) atau keke- balan (immunity) oleh suatu negara anggota kepada warga dari satu negara anggota lain harus diberikan juga immediately dan uncon- ditionally kepada warga negara dari negara anggota yang lain [9] sebagaimanaterdapat dalam Article 4 TRIPs. Berdasrkan Article 4 di atas, maka pengecualian terhadap prinsip ini dan tidak berlaku, apabila keuntungan, kemanfaatan atau perlakuan istimewa itu [10]:
a. timbul dari perjanjian internasional tentang pemberian ban-tu¬an hukum dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sifatnya umum dan tidak terbatas hanya pada perlindungan HKI;
b. diberikan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Berne (1971) atau Konvensi Roma yang menentukan bahwa perlakuan dimaksud berfungsi bukan dalam rangka National Treatment, tetapi perlakuan yang diberikan kepada Negara lain;
c. sepanjang mengenai hak pelaku pertunjukan, produsen rekaman musik dan organisasi siaran yang tidak diatur dalam Persetujuan ini;
d. yang timbul dari perjanjian internasional mengenai perlin- dungan HKI yang telah berlaku sebelum Persetujuan ten-tang Pembentukan Organisasi Perdanaan Dunia berlaku, sepanjang perjanjian tersebut diberitahukan kepada Dewan TRIPs dan tidak menimbulkan diskriminasi secara sewe- nang-wenang dan tidak wajar terhadap warga Anggota lain.

Selain ketiga prinsip tersebut di atas, ada pula prinsip yang memberikan kebebasan kepada negara anggota untuk menerapkan ketentuan-ketentuan TRIPsdalam hukum domestiknya, sepanjang tidak bertentangan dengan TRIPs (Prinsip kebebasan pengaturan hukum). Prinsip ini nampak dalam Article 1 point 1 TRIPsdan Article 8 TRIPs yang membebaskan anggota peserta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pembentukan dan penye- suaian hukum dan peraturan perundang-undangan nasional yang dibutuhkan sepanjang tidak bertentangan denganTRIPs.
Selanjutnya ada pula Prinsip Sederhana, Cepat dan Murah yang implementasinya pada ketentuan mengenai penegakan hukum atas HKI sebagaimana diatur dalam Article 41 dan mengenai prose-dur untuk memperoleh HKI dalamArticle 62. Dalam rangka pene-gakan hukum HKI, negara anggota peserta dapat menggunakan sistem peradilannya sendiri, tidak diwajibkan menciptakan sistem peradilan baru khusus untuk menangani kasus pelanggaran HKI apabila sistem peradilan yang sudah ada berbeda dengan yang diatur dalam TRIPs
Ketentuan sanksi pidana dalam Section 5 Article 61 TRIPs, menentukan bahwa anggota peserta wajib mengatur prosedur dan sanksi pidana pada kasus pemalsuan merek atau pembajakan hak cipta dalam perdagangan, yang dilakukan dengan sengaja dan untuk tujuan komersial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara dan denda serta pensitaan, pengam-bilalihan dan pe¬musnahan barang hasil pelanggaran. Sedangkan untuk pelanggaran HKI yang lain, diberi kebebasan kepada negara anggota untuk menerapkan atau tidak. Selain sanksi pidana, juga ada ganti rugi dan sanksi yang ber- tujuan membuat pelakunya jera. Upaya membuat pelaku pelang- garan HKI jera, maka badan peradilan berwenang memerintahkan agar barang hasil pelanggaran tersebut dikeluarkan dari arus perdagangan atau dihancurkan dan memberikan kompensasi yang memadai kepada pihak yang dirugikan karena pelanggaran tersebut.
Pengecualian terhadap sanksi pidana maupun gugatan ganti rugi diatur dalamArticle 60 TRIPs tentang De Minimis Import. Ketentuan ini mengakibatkan barang hasil pelanggaran HKI yang jumlahnya tidak banyak (sedikit) dan tidak bertujuan komersial tetapi hanya merupakan barang bawaan pribadi milik pelancong atau yang dikirim dalam paket kecil, maka tidak ditahan atau tidak dikenakan sanksi apapun. Ketentuan De Minimis Import ini, me-nyiratkan kurangnya penghargaan terhadap HKI. Meskipun perlin-dungan HKI lebih dititik beratkan atau difokuskan pada kerugian financial dalam jumlah yang besar bagi pemiliknya atau pemegang hak secara komersial, tetapi secara moral hal ini tetap tidak diper- bolehkan bahkan jika terbukti bahwa pemilik atau pembawa barang yang melanggar HKI tersebut mengetahui barang bawaannya me-langgar HKI. Ketentuan ini kontradiktif denganarticle 44 paragrah 2 yang mengharuskan penggunaan oleh pemerintah, atau oleh pihak ketiga yang diizin oleh pemerintah tapi tanpa izin dari pemegang hak, memberikan imbalan yang sesuai kepada pemilik hak.
Pengaturan rahasia dagang sebagai salah satu bagian dari HKI secara formal baru diatur di dalam TRIPs dan secara khusus hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu Section 7 Article 39 TRIPs mengenai Protection of Undisclosed Information. Meskipun demi- kian, pengaturan TRIPs secara keseluruhan berlaku juga bagi rahasia dagang. Adanya kaidah hukum ini menurut Article 39 paragraph 1TRIPs, untuk menjamin perlindungan yang efektif melawan persaingan tidak jujur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10bis Konvensi Paris. Selain itu juga untuk memacu penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta pe-nyebaran teknologi. Bentuk perbuatan-perbuatan yang merupakan persaingan tidak jujur menurut Pasal 10bis Konvensi Paris adalah :
a. Setiap tindakan yang dapat menimbulkan ‘confusion‘ dengan cara apapun tentang barang atau aktivitas komersial pesaing;
b. Pernyataan yang salah (false al¬legation) untuk mendiskredit- kan perusahaan, barang-barang atau aktivitas komersial atau
industri pesaing;
c. Penunjukkan atau pernyataan yang bersifat menyesatkan (mislead) masyarakat tentang proses manufaktur, karakter, tujuan penggunaan ataupun kuantitas dan barang-barang
Berdasarkan Article 39 ini, maka ada 2 macam perlindungan atas informasi, yaitu[11] :
1. Perlindungan terhadap rahasia dagang milik perorangan atau badan hukum, sebagaimana diatur dalam paragraph 2; dan
2. Pelindungan terhadap data yang diwajibkan oleh pemerintah (test data atau data uji) sebagai syarat untuk pemasaran suatu produk farmasi baru atau produk baru kimia pertanian yang memanfaatkan unsur kimia baru, sebagaimana diatur dalam paragraph 3.

Elemen-elemen rahasia dagang dalam Article 39 paragraph 2 TRIPs,adalah :
1. Informasinya bersifat rahasia;
2. memiliki nilai komersial karena kerahasiaannya; dan
3. telah diambil langkah-langkah yang semestinya oleh pihak yang secara hukum menguasai informasi tersebut untuk menjaga kerahasiaannya.

Sebagaimana halnya dalam negara penganut common law (Inggris) maupuncivil law (Belanda), maka dalam TRIPs juga tidak secara tegas menetapkan substansi atau isi dari informasi yang dirahasiakan. Hal ini dikarenakan TRIPs hanya memberikan suatu pedoman dasar[12] bagi perlindungan rahasia dagang yang harus dipatuhi oleh negara-negara anggota. Akan tetapi berdasarkan Article 39paragraph 2 dan 3 TRIPs dapat tersirat bahwa informasi dalam bidang farmasi dan bisnis merupakan rahasia dagang.
Untuk menentukan besarnya kualitas kerahasiaan yang harus dimiliki suatu informasi sehingga dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang, dapat dibagi atas 3 hal, yaitu :
a. Prinsip Generalia, maksudnya kerahasiaan itu tergantung dari banyak tidaknya orang mengetahui informasi tersebut;
b. Prinsip Difficulty, maksudnya untuk memperoleh informasi yang rahasia tersebut caranya sangat sulit dan rumit sehingga memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
c. Prinsip Contractual, maksudnya kerahasiaan informasi tersebut karena diperjanjikan bahwa harus dirahasiakan.

Sifat kerahasiaan informasi harus dijaga oleh pihak yang secara hukum menguasai informasi tersebut secara layak agar tidak terungkap sehingga hanya ia saja yang dapat menikmati keuntungan dari informasi tersebut. Pembebanan kewajiban merahasiakan ini dapat terjadi karena pada saat informasi diterima [13] :
a. disyaratkan dengan tegas suatu kewajiban merahasiakan infor- masi yang diterima tersebut.
b. tersirat dalam hubungan tersebut adanya suatu kewajiban me-rahasiakan informasi yang diterima.
Misalnya hubungan dokter dengan pasiennya, pengacara atau notaris dengan klien.
c. tidak ada persyaratan apapun dengan pihak yang secara hukum memiliki kontrol atas informasi tersebut.
Misalnya informasi yang diperoleh secara kebetulan atau tanpa sengaja atau karena suatu hubungan yang lain atau melalui ke- giatan mata-mata industri, pembajakan data komputer. Akan tetapi karena informasi tersebut menduduki daerah moral yang sama dengan pelanggaran kepercayaan, maka berdasarkan “niat baik”, penerima informasi tetap mempunyai kewajiban untuk menjaga kerahasiaannya.

Gugatan terhadap pelanggaran rahasia dagang akan diterima jika terbukti bahwa pemegangnya telah menjaga kerahasiaannya dengan layak atau telah mewajibkan untuk menjaga sifat kerahasia- an dari informasi tersebut karena informasi itu diberikan secara rahasia. Penentuan apakah ada kewajiban untuk menjaga kerahasia- an, tergantung pada waktu atau pada keadaan informasi tersebut diperoleh, misalnya seorang pekerja di perusahaan. Secara umum diatur bahwa ada kewajiban untuk menjaga kerahasiaan jika dianggap ‘layak’ bagi seseorang yang berada dalam posisi yang sama dengan penerima informasi, mengakui informasi tersebut diberikan kepadanya secara rahasia.

Dalam Article 39 paragrah 2 TRIPs ditentukan pula bahwa perbuatan yang merupakan “suatu cara yang bertentangan dengan praktek perdagangan jujur” adalah berupa praktek-praktek wanpres- tasi atas kontrak, wanprestasi atas kerahasiaan dan ajakan untuk melakukan wanprestasi. Termasuk juga perolehan informasi yang dirahasiakan oleh pihak ketiga yang mengetahui atau yang sepatut- nya mengetahui bahwa praktek-praktek tersebut terjadi dalam rangka memperoleh informasi yang bersifat rahasia itu. Selain itu ditentukan pula yang merupakan tindakan pelanggaran adalah [14]:
- pengungkapan kepada atau
- pengambilalihan atau perolehan oleh atau
- penggunaan oleh pihak lain
tanpa persetujuan pemegang hak dengan cara yang bertentangan dengan praktek-praktek komersial yang jujur.

A.Pengertian Rahasia Dagang

Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/ atau bisnis dimana mempunyai nilai ekonomis karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Rahasia Dagang (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000)yang berbunyi, Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi itu:
• Bersifat rahasia hanya diketahui oleh pihak tertentu bukan secara umum oleh masyarakat,
• Memiliki nilai ekonomi apabila dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yg bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan ekonomi,
• Dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
Pemilik rahasia dagang dapat memberikan lisensi bagi pihak lain. Yang dimaksud dengan lisensi adalah izin yang diberikan kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberikan perlindungan pada jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.
Tidak dianggap sebagai pelanggaran rahasia dagang apabila:
• Mengungkap untuk kepentingan hankam, kesehatan, atau keselamatan masyarakat,
• Rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan oleh penggunaan rahasia dagan milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.

B.Perkembangan Pengaturan Rahasia Dagang
Pengaturan tentang rahasia dagang di Indonesia masih baru. Dasar dari pengaturan ini adalah diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagang Dunia atau WTO) yang mencakup juga Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur tentang rahasia dagang. Di Indonesia rahasia dagang diatur pertama kali melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang. Pada awalnya perlindungan hukum menyangkut segala bentuk praktek-praktek persaingan tidak sehat telah diatur oleh rambu-rambu dan norma-norma pada Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 382 bis KUHP.
Namun kemudian menjadi masalah setelah tentang hal itu dikemas sebagai produk kekayaan intelektual. Ini berarti konsep unfair competition sebagai hukum yang bersifat umum lebih dipersempit atau difokuskan kepada hukum yang melindungi adanya praktek curang bermotif komersial. Kebuthan itu diformulasikan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang. Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang rahasia dagang ini juga melengkapi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

C.Lingkup Rahasia Dagang
a. Subyek Rahasia dagang adalah pemilik rahasia dagang. Pemilik rahasia dagang memiliki hak untuk :
1) Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
2) Memberi lisensi kepada pihak lain atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
b. Obyek ruang lingkup rahasia dagang menurut undang-undang No. 30 Tahun 2000 Pasal 2 meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan atau informasi lain di bidang tekhnologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Misalnya Coca-cola menggunakan rahasia dagang yaitu informasi teknik senyawa untuk melindungi formulanya, bukan paten. Hal ini untuk menghindari adanya batas waktu. Kalau formula dilindungi hak paten maka, akan berakhir paling lama 20 tahun. Pada saat ini usia Coca Cola sudah lebih dari 100 tahun, hak ini karena formulanya dilindungi dengan rahasia dagang. Metode produksi misalnya teknologi pemrosesan anggur, formula ramuan rokok. Di bidang lain, misalnya informasi non teknik. Data mengenai pelanggan, data analisis, administasi keuangan, dll.
c. Lama Perlindungan
Beberapa alasan/keuntungan penerapan Rahasia Dagang dibandingkan Paten adalah karya intelektual tidak memenuhi persyaratan paten, masa perlindungan yang tidak terbatas, proses perlindungan tidak serumit dan semahal paten, lingkup dan perlindungan geografis lebih luas.Namun, tanpa batas waktu ini mempunyai syarat yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 yaitu bahwa rahasia dagang dilindungi bila informasi tersebut masih bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya semestinya. Ketiga syarat yang harus dipenuhi itu dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Bersifat rahasia apabila informasi itu hanya diketahui oleh orang-orang terbatas.
b) Informasi mempunyai nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha atau bisnis yang komersial atau mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya.
c) dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak.

D.Pelanggaran dan Sanksi
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan dan mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan, atau pihak lain yang memperoleh/menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

E.Prosedur Perlindungan
Untuk mendapat perlindungan Rahasia Dagang tidak perlu diajukan pendaftaran (berlangsung secara otomatis), karena undang-undang secara langsung melindungi Rahasia Dagang tersebut apabila informasi tersebut bersifat rahasia, bernilai ekonomis dan dijaga kerahasiaannya, kecuali untuk lisensi Rahasia Dagang yang diberikan. Lisensi Rahasia Dagang harus dicatatkan ke Ditjen. HKI - DepkumHAM.

F.Pengalihan Hak dan Lisensi
Hak atas Rahasia Dagang seperti hak atas kekayaan intelektual yang lain, merupakan benda bergerak tidak berwujud oleh karenanya dapat beralih atau dialihkan dengan :
a. Pewarisan
b. Hibah
c. Wasiat
d. Perjanjian tertulis atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
Pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pembelian hak (izin) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian pemberian lisensi/izin pada pihak lain untuk mempergunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu untuk kepentingan yang bersifat komersial harus dibuat secara tertulis dan didaftarkan/dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian di Indonesia atau yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G.Pendaftaran Permohonan Rahasia Dagang
Hak kepemilikan rahasia dagang tidak perlu melalui prosedur pendaftaran. Kecuali pengalihan haknya.

H.Litigasi dan Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang
Pemilik Hak Rahasia Dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana diatur pada Pasal 4 yaitu menggunakan rahasia dagang dan atau memberi lisensi kepada orang lain, atau mengungkapkan rahasia dagang kepada pihak ketiga untuk kepentingan komersial dengan gugatan ganti rugi dan atau minta penghentian tindakan yang dilakukan sesuai Pasal 4.
Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri, dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimum 2 tahun penjara dan atau denda maksimum Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Tindak pidana Rahasia Dagang merupakan delik aduan. **

Contoh kasus
Hitachi Digugat Soal Rahasia Dagang
Bisnis Indonesia, Suwantin Oemar, 21 Oktober 2008
JAKARTA: PT Basuki Pratama Engineering mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri Bekasi terhadap PT Hitachi Constructuin Machinery Indonesia sekitar Rp127 miliar, karena diduga melanggar rahasia dagang.
Selain PT Hitachi Construction Machinery Indonesia HCMI, pihak lain yang dijadikan sebagai tergugat dalam kasus itu adalah Shuji Sohma, dalam kapasitas sebagai mantan Dirut PT HCMI. Tergugat lainnya adalah Gunawan Setiadi Martono tergugat III, Calvin Jonathan Barus tergugat IV, Faozan tergugat V,Yoshapat Widiastanto tergugat VI, Agus Riyanto tergugat VII, Aries Sasangka Adi tergugat VIII, Muhammad Syukri tergugat IX, dan Roland Pakpahan tergugat X.
Insan Budi Maulana, kuasa hukum PT Basuki Pratama Engineering BPE, mengatakan sidang lanjutan dijadwalkan pada 28 November dengan agenda penetapan hakim mediasi. Menurut Insan, gugatan itu dilakukan sehubungan dengan pelanggaran rahasia dagang penggunaan metode produksi dan atau metode penjualan mesin boiler secara tanpa hak.
PT BPE bergerak dalam bidang produksi mesin-mesin industri, dengan produksi awal mesin pengering kayu.
Penggugat, katanya, adalah pemilik dan pemegang hak atas rahasia dagang metode produksi dan metode penjualan mesin boiler di Indonesia "Metode proses produksi itu sifatnya rahasia perusahaan," katanya.
Dia menjelaskan bahwa tergugat IV sampai dengan tergugat X adalah bekas karyawan PT BPE, tetapi ternyata sejak para tergugat tidak bekerja lagi di perusahaan, mereka telah bekerja di perusahaan tergugat PT HCMI.
Tergugat, katanya, sekitar tiga sampai dengan lima tahun lalu mulai memproduksi mesin boiler dan menggunakan metode produksi dan metode penjualan milik penggugat yang selama ini menjadi rahasia dagang PT BPE.
PT BPE, menurutnya, sangat keberatan dengan tindakan tergugat I baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama memproduksi mesin boiler dengan menggunakan metode produksi dan metode penjualan mesin boiler penggugat secara tanpa izin dan tanpa hak.

Bayar ganti rugi
"Para tergugat wajib membayar ganti rugi immateriil dan materiil sekitar Rp127 miliar atas pelanggaran rahasia dagang mesin boiler".
Sebelumnya, PT BPE juga menggugat PT HCMI melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam kasus pelanggaran desain industri mesin boiler. Gugatan PT BPE itu dikabulkan oleh majelis hakim Namun, PT HCMI diketahui mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Sementara itu, kuasa hukum PT HCMI, Otto Hasibuan, mengatakan pengajuan gugatan pelanggaran rahasia dagang oleh PT BPE terhadap mantan-mantan karyawannya dan PT HCMI pada prinsipnya sama dengan pengaduan ataupun gugatan BPE sebelumnya.
Gugatan itu, menurut Otto Hasibuan, dalam pernyataannya yang diterima Bisnis, dilandasi oleh tuduhan BPE terhadap mantan karyawannya bahwa mereka telah mencuri rahasia dagang berupa metode produksi dan metode penjualan mesin boiler.
Padahal, ujarnya, mantan karyawan BPE yang memilih untuk pindah kerja hanya bermaksud untuk mencari dan mendapatkan penghidupan yang layak dan ketenteraman dalam bekerja, dan sama sekali tidak melakukan pelanggaran rahasia dagang ataupun peraturan perusahaan BPE. Bahkan, menurutnya, karyawan itu telah banyak memberikan kontribusi terhadap BPE dalam mendesain mesin boiler.
Dia menjelaskan konstitusi dan hukum Indonesia, khususnya UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi pekerja, termasuk hak untuk pindah kerja.HCMI optimistis gugatan BPE tersebut tidak berdasar "HCMI percaya majelis hakim akan bersikap objektif, sehingg gugatan BPE tersebut akan ditolak," ujarnya

TENTANG DESAIN INDUSTRI
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam
pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu
produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri.
3. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan kepada
Direktorat Jenderal.
4. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
5. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia
kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak
tersebut.
6. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas
dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Desain
Industri.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di
bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
8. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi
persyaratan administratif.
10. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak
Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan
pengurusan permohonan Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang Hak
Kekayaan Intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
di Direktorat Jenderal.
11. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberi perlindungan dalam
jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.
12. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari
negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa
Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi
Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, memiliki tanggal
yang sama dengan Tanggal Penerimaan yang diajukan di negara asal selama kurun
waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.

Bagian Pertama
Desain Industri yang Mendapat Perlindungan
Pasal 2
(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.
(2) Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut
tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
(3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan
Desain Industri yang sebelum :
a. tanggal penerimaan; atau
b. tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;
c. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Pasal 3
Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut :
a. telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia
atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau
b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan
pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

Bagian Kedua
Desain Industri yang Tidak Mendapat Perlindungan
Pasal 4
Hak Desain Industri tidak dapat diberikan apabila Desain Industri tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.

Bagian Ketiga
Jangka Waktu Perlindungan Desain Industri
Pasal 5
(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Tanggal mulai berlakunya jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Keempat
Subjek Desain Industri
Pasal 6
(1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak
tersebut dari Pendesain.
(2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Industrii
diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.


Oleh Padma D Liman dan Gabungan Materi dari Akademisi (Fredy Bagus FH UNNES 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Histats