Kekuasaan
dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik,
namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna
kekuasaan. Akan tetapi politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa
moral. Dalam kamus ilmu politik terdapat beberapa konsep yang berkaitan
dengan kekuasaan (power), seperti influence (pengaruh), persuasion
(persuasi), force (kekuatan), coercion (kekerasan) dan lain sebagainya.
1. influence (pengaruh) yaitu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela.
2. Persuasi yaitu kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.
3. Manipulasi yaitu penggunaan pengaruh,dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya, sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
4. Coersion yaitu peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi.
5. Force yaitu penggunaan tekanan fisik terhadap pihak lain agar malakukan sesuatu.
6. Authority (kewenangan).
A (seseorang atau
kelompok) dikatakan memiliki kekuasaan atas B (seseorang atau kelompok)
apabila A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya
tidak dikehendaki B. Ada rumusan lain yang menyatakan bahwa A menguasai B
apabila A dapat mempengaruhi B untuk berpikir dan berperilaku sesuai
dengan kehendak A. Walau demikian, rumusan kekuasaan tersebut masih
harus dilengkapi karena tidak semua orang, kelompok atau Negara dapat
mempengaruhi atau mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan secara
umum diartikan sebagai kumampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang
dimiliki untuk mempengaruhi perikaku pihak lain sehingga pihak tersebut
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi.
Secara lebih
sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan
sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik sehingga kuputusan ini menguntungkan
dirinya, kolompok ataupun masyarakat pada umumnya.
Dalam hubungan kekuasaan, terdapat tiga unsur yang selalu terkandung di dalamnya:
1. Tujuan
2. Cara penggunaan sumber - sumber pengaruh
3. Hasil penggunaan sumber - sumber pengaruh
Ciri-ciri hubungan kekuasaan adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan merupakan hubungan antarmanusia.
2. Pemegang kekuasaan mempengaruhi pihak lain.
3. Pemegang kekuasaan dapat seorang individu, kelompok, organisasi, ataupun pemerintah.
4. Sasaran kekuasaan(yang dipengaruhi) dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah(negara).
5. Suatu pihak yang memiliki sumber kekuasaan belum tentu mempunyai kekuasaankarena bergantung pada kemampuannya menggunakan sumber kekuasaan secara efektif.
6. Penggunaan sumber-sumber kekuasaan mungkin melibatkan paksaan, konsensus, atau kombinasi keduanya.
7. Hal ini bergantung pada perspektif moral yang digunakan, yakni apakah tujuan yang hendak dicapai baik atau buruk?
8. Hasil penggunaan sumber-sumber pengaruh itu dapat menguntungkan seluruh masyarakat atau dapat juga hanya menguntungkan kelompok masyarakat kecil.
9. Kekuasaan politik mempunyai makna bahwa sumber-sumber itu digunakan dan dilaksanakan untuk masyarakat umum.
10. Kekuasaan yang beraspek politik untuk mempengaruhi proses politik.
B. Dimensi-Dimensi Kekuatan
Untuk memahami gejala politik kekuasaan secara tuntas, maka kekuasaan ditinjau dari enam dimensi yaitu sebagai berikut:
1. Potensial dan Aktual
1. Potensial dan Aktual
Seseorang
dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber
kekuasaan, seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi,
popularitas, status sosial yang tinggi, masa yang terorganisasi, dan
jabatan. Sebaliknya, seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual
apabila dia telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam
kegiatan politiksecara efektif (mencapai tujuannya).
2. Konsensus dan Paksaan
2. Konsensus dan Paksaan
Dalam
menganalisis hubungan kekuasaan maka seseorang harus membedakan
kekuasaan yang berdasar paksaan dengan konsensus. Penganalisis politik
yang menekankan aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang
politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Mereka
melihat tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyangkut
masyarakat secara keseluruhan, melainkan kepentingan kelompok masyarakat
kecil. Sebaliknya, penganalisis politik yang menekankan aspek konsensus
dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang
tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat
secara keseluruhan.
Perbedaan
konsensus dan paksaan yaitu menyangkut dua hal, yaitu alasan penataan
dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati
kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Dalam hal ini takut akan paksaan
fisik maupun nonfisik. Sementara itu, alasan untuk menaati kekuasaan
konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang
dipengaruhi.
3. Positif dan Negatif
Tujuan umum
pemegang kekuasaan untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari
pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dikelompokkan menjadi dua aspek
yang berbeda yaitu, tujuan positif dan negatif. Yang dimaksud dengan
kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk
mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan
kekuasaan negatif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk
mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak
perlu, tetapi juga merugikan pihaknya.
Kemampuan seorang
presiden untuk mempengaruhi badan perwakilan rakyat agar RUU yang
diajukan dapat dipandang sebagai kekuasaan positif sedangkan kemampuan
fraksi-fraksi dibadan perwakilan rakyat untuk menolak seluruh RUU boleh
dipandang sebagai kekuasaan negatif (dari sudut pandang presiden itu).
Untuk menentukan mana yang positif dan negatif diperlukan tolak ukur
yang jelas dan disepakati bersama.
4. Jabatan dan Pribadi
Pada masyarakat
maju dn mapan baik jabatan maupun kualitas pribadi yang menduduki
jabatan merupakan sumber kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat
sederhana, struktur masyarakat kekuasaan yang didasarkan atas kualitas
pribadi tampak lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung dalam
jabatan. Dalam hal ini, pemimpin melaksanakan kekuasaan khususnya
terhadap orang daripada lembaga-lembaga. Efektivitas kekuasaannya
terutama berasal dari kualitas pribadi, seperti kharisma, penampilan
diri, asal-usul keluarga dan wahyu.
5. Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan
implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tetapi dapat
dirasakan, sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara
jelas terlihat dan terasakan. Adanya kekuasaan implisit ini menimbulkan
perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut “asas
memperkirakan reaksi pihak lain”. Misalnya, Kekuasaan senat amerika
serikat. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas
terlihat dan terasakan. Dalam mengajukan calon-calon hakim agung,
menteri, dan duta besar, biasanya presiden mempertimbangkan pendapat dan
keinginan senat(khususnya mayoritas) hingga usul presiden disetujui
oleh senat. Dalam mempertimbangkan kenyataan ini para pemimpin politik
biasanya memperkirakan sungguh-sungguh kemungkinan reaksi atau kekuasaan
eksplisit pihak-pihak lain sebelum melakukan suatu tindakan politik.
6. Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan
langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan
pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung
tanpa melalui perantara. Sedangkan tidak langsung adalah penggunaan
sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik
melalui perantaraan pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.
C. Pelaksanaan Kekuasaan Politik
besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.
C. Pelaksanaan Kekuasaan Politik
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kekuasaan politik atau penggunaan sumber-sumber terdapat empat faktor yang perlu dikaji, yaitu:
1. Bentuk dan Jumlah sumber
Yang termasuk
dalam kategori sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan
dan harta benda (ekonomi),normatif, jabatan, keahlian, informasi, status
sosial, popularitas pribadi, dan masa yang terorganisasi.
Pada masyarakat
maju, senjata modern tidak digunakan untuk proses politik dalam negeri.
Namun hanya berfungsi sebagai penangkal dan sumber pengaruh dalam
pencaturan politik internasional. Sementara itu, dalam negara-negara
berkembang, sejata konvensional tidak hanya digunakan untuk
mempertahankan kedaulatan dari penetrasi luar, tetapi juga untuk
mematahkan oposisi dan kelompok-kelompok yang dianggap menentang
kekuasaan dengan alasan demi ketertiban dan kestabilan.
Uang, emas,
tanah, barang-barang berharga, dan surat-surat berharga merupakan sumber
kekuasaan berupa kekayaan. Mereka yang memiliki kekayaan dalam jumlah
besar setidak-tidaknya secara potensial akan memiliki kekuasaan politik.
Para bankir, industrialistis, pengusaha, dan tuan tanah adalah contoh
orang-orang yang memiliki kekuasaan politik potensial.
Para pemimpin
agama dan pemimpin suku ditaati oleh anggota masyarakatnya bukan karena
senjata atau kekayaan yang mereka miliki, namun kebenaran agama yang
“diwakili” dan disebarluaskan oleh pemimpin agama, dan adat dan tradisi
yang dipelihara dan ditegakkan oleh pemimpin suku tersebut. Selain itu,
sebagian anggota masyarakat menaati kewenangan pemerintah bukan karena
takut paksaan fisik atau takut kehilangan pekerjaan, melainkan karena
kesadaran hukum demi ketertiban umum dan pencapaian tujuan
masyarakat-negara.
Kewenangan yang
melekat dalam jabatan jelas merupakan sumber pengaruh yang efektif. Itu
sebabnya, mengapa birokrasi dimanapun cenderung memiliki pengaruh yang
besar tidak hanya terhadap masyarakat, tetapi juga terhadap politikus
yang menjadi atasannya karena ketergantungan menteri akan informasi dan
keahlian pada birokrasi. Terlebih-lebih di negara-negara berkembang
ketika organisasi politik non pemerintahan masih lemah, birokrasi
cenderung menguasai masyarakat daripada melayani masyarakat.
Status sosial
yang tinggi dapat pula dijadikan sebagai sumber pengaruh terutama dalam
masyarakat yang masih menghormati status sosial.
Masa yang
terorganisasikan, seperti organisasi-organisasi buruh, petani,
mahasiswa, guru, dll. Juga akan memiliki pengaruh dalam masyarakat yang
memiliki sistem kepartaian kompetitif dan yang menjamin kebebasan
berasosiasi.
Kemampuan pers
(media masa) membentuk pendapat umum melalui pemberitaan, tajuk rencana,
reportase, dan karikatur juga merupakan sumber kekuasaan.
Pemerintah yang
bijaksana berupaya keras untuk tidak membuat keputusan yang bertentangan
dengan pendapat umum. Dalam hal ini, media masa akan memiliki pengaruh
politik hanya dalam sistem politik yang menjamin kebebasan menyatakan
pendapat dan yang memiliki otonomi pers (tidak bergantung pada
pemerintah maupun pemilik media massa). Media massa berfungsi sebagai
kekuasaan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di
negara-negara berkembang, pengaruh media massa sangat besar dalam
pembentukan pendapat umum sehingga media massa cenderung dikontrol
(langsung maupun tidak langsung) oleh pemerintah.
Selain sumber
kekuasaan utama juga terdapat sumber kekuasaan pelengkap. Sumber
kekuasaan palengkap itu meliputi waktu, keterampilan, dan minat atau
perhatian pada sumber politik. Waktu dan keterampilan sangat penting
untuk dapat menggunakan sumber-sumber kekuasaan dalam kegiatan politik,
sebab tanpa waktu yang cukup dan keterampilan yang memadai untuk
mengamati proses politik, melihat akses yang tersedia dan menggunakan
sumber kekuasaan tersebut imaka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki
tetaplah potensial sifatnya.
Tidak semua orang
mempunyai minat dan perhatian pada politik. Minat ini bergantung pada
persepsi orang yang bersangkutan terhadap politik, dan persepsi ini juga
dipengaruhi dengan pengalaman yang bersangkutan tentang kehidupan
politik.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan banyaknya dan besarnya kekuasaan yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang merupakan penjumlahan sumber
kekuasaan utama dan sumber kekuasaan pelengkap. Untuk mengatur jumlah
kekuasaan yang bersifat materiil, seperti sarana kekuasaan paksaan
fisik, sarana kekuasaan berupa kekayaan, keahlian, dan massa yang
terorganisasi, barang kali tidak terlalu sukar. Namun junlah sumber
kekuasaan yang bersifat non materiil, seperti sarana kekuasaan normatif
dan popularitas pribadi mungkin sukar diukur tetapi dapat dirasakan.
2. Distribusi Sumber dalam Masyarakat
Sumber-sumber
kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap
masyarakat atau sistem politik, karena kemampuan setiap orang
bervariasi.
Masyarakat yang
stukturnya masih sederhana, distribusi pemilikan sumber – sumber relatif
merata sebab selain sumber – sumber kekuasaan yang tersedia masih
sedikit, juga karena hubungan antar sesama dilandasi dengan prinsip
kekeluargaan, dan hubungan dengan pemimpin didasarkan pada prinsip
primus interpares.
Ketika masyarakat
yang sederhana ini melakukan perubahan (modernisasi) maka terjadi
kesenjangan karena sebagian masyarakat tidak ikut dalam proses
perubahan.Hubungan antar sesama lebih didasarkan atas egoisme, dan
hubungan dengan pemimpin berubah menjadi hubungan yang hirarkis. Itu
sebabnya, distribusi sumber – sumber di negara –negara berkembang
cenderung tidak merata.
Di negara –
negara maju distribusi sumber lebih merata dapada di negara – negara
berkembang karena telah dapat mengangkat lebih banyak warga masyarakat
ketingkat hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, distribusi sumber –
sumber kekuasaan, antaralain ditentukan dengan susunan masyarakat,
tingkat perkembangan pendidikan dan teknologi, tipe birokrasi dan
tingkat, jenis dan kualitas barang dan jasa.
3. Penggunaan Sumber – Sumber
3. Penggunaan Sumber – Sumber
Ada 3 pilihan bagi setiap orang atau kelompok dalam menggunakan sumber kekayaan, yaitu:
a) Menggunakan sumber itu kedalam kegiatan nonpolitik.4. Hasil Penggunaan Sumber – Sumber
b) Menginvetasikan sumber itu ke bank dan dunia usaha (perdagangan,industri dan jasa).
c) Menggunakan sumber itu untuk mempengaruhi proses politik baik dalam hal menjagokan calon tertentu sebagai pemimpin politik dan pemerintahan maupun dalam hal memperjuangkan kebijakan tertentu yang menguntungkan.
a) Jumlah Individu yang Dikendalikan
Jumlah individu
yang dikendalikan ialah jumlah anggota masyarakat yang menyesuaikan diri
dengan kehendak pemegang kekuasaan. Contohnya, jumlah individi yang
dikendalikan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan sangat
bergantung pada 2 hal, yaitu tingkat kemajuan masyarakat dan tipe sistem
politik yang diterapkan oleh negara itu.
b) Bidang – Bidang Kehidupan yang Dikendalikan
Bidang – bidang
kehidupan yang dikendalikan ialah sektor – sektor kehidupan atau urusan –
urusan yang ditangani dan dikendalikan pemegang kekuasan (pemerintah
pusat). Lingkup pengaruh pemegang kekuasaan bergantung pada 2 faktor,
yaitu sumber-sumber dan tipe sumber politik yang diterapkan.
Masyarakat yang
memiliki sumber-sumber yang berlimpah cenderung menangani bidang-bidang
kehidupan yang lebih luas, tidak hanya urusan yang menyangkut pertahanan
dan keamanan, juga kesejahteraan sosial dalam arti yang seluas-luasnya.
Sistem politik
otokrasi tradisional biasanya menangani urusan pertahanan dan keamanan,
dan perpajakan, sedangkan perihal kesejahteraan sosial menjadi urusan
individu atau kelompok dalam masyarakat. Sebaliknya, sistem politik
totaliter menangani semua bidang kehidupan manusia secara menyeluruh
(total) dalam rangka menciptakan dan masyarakat baru sesuai dengan
gambaran ideologi totaliter.
Di samping itu,
sistem politik demokrasi biasanya mengadakan pembagian tugas antara
pemerintah pusat dan pemerintah lokal maupun antara pemerintah dan
organisasi politik dan kelompok sosial dalam masyarakat.
c) Kedalaman Pengaruh Kekuasaan
c) Kedalaman Pengaruh Kekuasaan
Kedalaman
pengaruh kekuasaan ialah seberapa dalam perilaku individu dipengaruhi
oleh faktor kekuasaan. Soal perilaku dalam pemegang kekuasaan tidak
begitu memperhatikannya karena perilaku luar dianggap cerminan perilaku
dalam maupun karena sarana-sarana kekuasaan yang efektif tidak tersedia.
Pengaruh pemegang
kekuasaan pada sistem politik demokrasi (liberal) tidak sampai mengubah
perilaku dalam dan luar. Setiap orang sadar akan hak-haknya, tetapi
menghormati hak orang lain dan pemerintah menjamin hak-hak tersebut.
Anggota
masyarakat di sosialisasikan melalui lembaga pendidikan dan media massa
untuk berpersepsi, berorients, bersikap dan berperilaku demokratis.
D. Distribusi Kekuasaan
D. Distribusi Kekuasaan
Menurut Andrain,
ilmuwan politik biasanya menggambarkan distribusi kekuasaan dalam tiga
model yakni model elit yang memerintah, model pluralis dan model
populis. Model pertama melukiskan kekuasaan sebagai dimiliki oleh
kelompok kecil orang yang disebut elit. Model pluralis menggambarkan
kekuasaan sebagai dimiliki dengan berbagai kelompok social dalam
masyarakat dan berbagai lembaga dalam pemerintahan, lalu model populis
melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara atau
rakyat secara kolektif.
1. Elit yang Memerintah
Asumsi yang
mendasari model ini, setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi
kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan yang
memiliki kekuasaan politik dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik
sedikit sekali apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam
masyarakat negara. Asumsi kedua, jumlah orang yang memerintah suatu
masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Asumsi ketiga,
diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha
mempertahankan nilai-nilai yang berarti mempertahankan status sebagai
elit politik.
2. Model Pluralis
Asumsi yang
mendasari model ini ialah setiap individu menjadi anggota satu atau
lebih kelompok sosial atau kekuatan sosial tertentu sesuai dengan
aspirasi dan kepentingan yang bersifat kultural dan ideologis maupun
yang berdasarkan okupasi dan profesi seperti aspirasi ekonomi. Kelompok
kepentingan atau kekuatan sosial ini berfungsi sebgai wadah
memperjuangkan kepentingan para anggota dan menjadi perantara antara
para anggotanya dan pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan
politik.
3. Model Populis ( Kerakyatan )
3. Model Populis ( Kerakyatan )
Asumsi yang
mendasari model kerakyatan adalah demokrasi. Artinya partisipasi
individu warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksaan keputusan
politik yang jelas akan mempengaruhi sendi kehidupan individual dan
sosial dalam masyarakat. Kunci utama demokrasi sebagai suatu pandangan
hidup, yakni partisipasi setiap individu yang telah dewasa dalam
pembentukan nilai-nilai yang mengatur hidup mereka. Jadi, demokrasi
menghendaki partisipasi rakyat dalam mengalokasikan dan mendistribusikan
nilai-nilai kepada masyarakat.
E. Kekuasaan menurut Budaya Jawa
Dari berbagai
penjelasan mengenai konsep atau gagasan kekuasaan dalam pandangan dunia
Jawa diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Hal pertama yang dapat
kita tangkap adalah bahwa kekuasaan tidak hanya berupa hal-hal yang
lahiriah, namun kekuasaan juga dimaknai seperti segala kekuatan yang
menyatakan diri dalam alam, kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahi yang
tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh dunia. Adapun
sifat-sifat yang melekat dalam kekuasaan dipandang dari dunia Jawa
antara lain:
1. Kekuasaan bersifat konkret
2. Kekuasaan itu homogen
Kekuasaan dalam
paham Jawa hanyalah merupakan ungkapan realitas yang sama, karena
kekuasaan itu berasal dari sumber yang sama, dan mempunyai kualitas yang
sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan yang
satu yang meresapi seluruh dunia ini.
3. Kekuasaan bersifat konstan/tetap
Dalam pandangan dunia Jawa, dalam kekuasaan yang dapat berubah hanyalah pembagian kekuasaan dalam dunianya saja. Pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
4. Kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan
Kekuasaan yang besar diperlihatkan dari besarnya wilayah kekuasaan, dan semakin eksklusif segala kekuatan dalam kerajaannya berasal dari padanya.
5. Kekuasaan nampak dalam ketenangan
Sikap tenang menunjuk pada inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan kekuatan batin seorang pemimpin, dimana seorang penguasa harus bersikap alus, yang berarti bahwa sebagai seorang pemimpin dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna hingga memiliki kekuatan batin.
6. Kekuasaan dalam pandangan Jawa bersifat metempiris
Cara memperoleh kekuasaan tidak dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pemusatan tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan, relasi, dan lain sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja diperoleh, namun harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan.
7. Kekuasaan hilang apabila pemimpin mulai menunjukkan pamrihnya
Apabila seorang pemimpin berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya maka ia mulai menunjukkan sikap pamrihnya. Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa berdampak pada hilangnya kekuatan kosmik pada dirinya yang berakibat pada larutnya kekuasaan pada dirinya.
8. Dalam kekuasaan tidak diperlukan suatu legitimasi
Raja sebagai sumber kedaulatan. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal demikianlah yang menyebabkan tidak perlunya hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya.
9. Kekuasaan dinilai dari hasil yang dicapai
Kekuasaan dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil yang dicapainya. Apabila
rakyat sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat kekuasaan sang Raja itu.
Dapat disimpulkan
bahwa pemahaman konsep kekuasaan Jawa sangat bertolak belakang dengan
pemahaman kekuasaan dari dunia Barat. Paham Barat menyatakan adanya
tendensi dalam memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang selalu
instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral dalam
arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa yang
menyatakan bahwa kekuasaan lebih dari kemampuan untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain saja.
Ilmu Politik Perberdaan antara Kekuasaan dan Kewenangan:
1. Kekuasaan
Ilmu Politik Perberdaan antara Kekuasaan dan Kewenangan:
1. Kekuasaan
Power sering diartikan sebagai kekuasaan. Sering juga
diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak yang digunakan untuk
memengaruhi pihak lain, untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemegang
kekuasaan. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesselshaft menyatakan,
kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan
kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan. Pernyataan ini menjadi rujukan
banyak ahli, seperti yang dinyatakan Harold D. Laswell dan A. Kaplan,”
Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok dapat menentukan
tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak pertama.”
2. Kewenangan
2. Kewenangan
Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu
atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar
tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan.
Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas
organisasi.
Kewenangan digunakan untuk mencapai tujuan pihak yang
berwenang. Karena itu, kewenangan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan. Robert
Bierstedt menyatakan dalam bukunya an analysis of social power , bahwa
kewenangan merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Seseorang yang memiliki
kewenangan berhak membuat peraturan dan mengharapkan kepatuhan terhadap
peraturannya.
Power (kekuasaan) dan authority (wewenang) saling terkait;
power = informal authority, authority = legimate power.
Power tidak membutuhkan legitimasi sedangkan authority membutuhkan legitimasi dan membutuhkan power. Authority merupakan hak untuk memanipulasi atau merubah orang lain.
Power tidak membutuhkan legitimasi sedangkan authority membutuhkan legitimasi dan membutuhkan power. Authority merupakan hak untuk memanipulasi atau merubah orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar