Home » » ILMU POLITIK - Resume Kekuasaan Bab IV

ILMU POLITIK - Resume Kekuasaan Bab IV

A. Pengantar
Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik, namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna kekuasaan. Akan tetapi politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral. Dalam kamus ilmu politik terdapat beberapa konsep yang berkaitan dengan kekuasaan (power), seperti influence (pengaruh), persuasion (persuasi), force (kekuatan), coercion (kekerasan) dan lain sebagainya.



1. influence (pengaruh) yaitu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela.
2. Persuasi yaitu kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.
3. Manipulasi yaitu penggunaan pengaruh,dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya, sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
4. Coersion yaitu peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi.
5. Force yaitu penggunaan tekanan fisik terhadap pihak lain agar malakukan sesuatu.
6. Authority (kewenangan).

A (seseorang atau kelompok) dikatakan memiliki kekuasaan atas B (seseorang atau kelompok) apabila A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki B. Ada rumusan lain yang menyatakan bahwa A menguasai B apabila A dapat mempengaruhi B untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak A. Walau demikian, rumusan kekuasaan tersebut masih harus dilengkapi karena tidak semua orang, kelompok atau Negara dapat mempengaruhi atau mempunyai kekuasaan.

Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kumampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perikaku pihak lain sehingga pihak tersebut berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi.

Secara lebih sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga kuputusan ini menguntungkan dirinya, kolompok ataupun masyarakat pada umumnya.

Dalam hubungan kekuasaan, terdapat tiga unsur yang selalu terkandung di dalamnya:
1. Tujuan
2. Cara penggunaan sumber - sumber pengaruh
3. Hasil penggunaan sumber - sumber pengaruh
 
Ciri-ciri hubungan kekuasaan adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan merupakan hubungan antarmanusia.
2. Pemegang kekuasaan mempengaruhi pihak lain.
3. Pemegang kekuasaan dapat seorang individu, kelompok, organisasi, ataupun pemerintah.
4. Sasaran kekuasaan(yang dipengaruhi) dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah(negara).
5. Suatu pihak yang memiliki sumber kekuasaan belum tentu mempunyai kekuasaankarena bergantung pada kemampuannya menggunakan sumber kekuasaan secara efektif.
6. Penggunaan sumber-sumber kekuasaan mungkin melibatkan paksaan, konsensus, atau kombinasi keduanya.
7. Hal ini bergantung pada perspektif moral yang digunakan, yakni apakah tujuan yang hendak dicapai baik atau buruk?
8. Hasil penggunaan sumber-sumber pengaruh itu dapat menguntungkan seluruh masyarakat atau dapat juga hanya menguntungkan kelompok masyarakat kecil.
9. Kekuasaan politik mempunyai makna bahwa sumber-sumber itu digunakan dan dilaksanakan untuk masyarakat umum.
10. Kekuasaan yang beraspek politik untuk mempengaruhi proses politik.

B. Dimensi-Dimensi Kekuatan
Untuk memahami gejala politik kekuasaan secara tuntas, maka kekuasaan ditinjau dari enam dimensi yaitu sebagai berikut:
 1. Potensial dan Aktual
Seseorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, masa yang terorganisasi, dan jabatan. Sebaliknya, seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan politiksecara efektif (mencapai tujuannya).
  
2. Konsensus dan Paksaan
Dalam menganalisis hubungan kekuasaan maka seseorang harus membedakan kekuasaan yang berdasar paksaan dengan konsensus. Penganalisis politik yang menekankan aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Mereka melihat tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyangkut masyarakat secara keseluruhan, melainkan kepentingan kelompok masyarakat kecil. Sebaliknya, penganalisis politik yang menekankan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Perbedaan konsensus dan paksaan yaitu menyangkut dua hal, yaitu alasan penataan dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Dalam hal ini takut akan paksaan fisik maupun nonfisik. Sementara itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi.

3. Positif dan Negatif
Tujuan umum pemegang kekuasaan untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yaitu, tujuan positif dan negatif. Yang dimaksud dengan kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihaknya.
Kemampuan seorang presiden untuk mempengaruhi badan perwakilan rakyat agar RUU yang diajukan dapat dipandang sebagai kekuasaan positif sedangkan kemampuan fraksi-fraksi dibadan perwakilan rakyat untuk menolak seluruh RUU boleh dipandang sebagai kekuasaan negatif (dari sudut pandang presiden itu). Untuk menentukan mana yang positif dan negatif diperlukan tolak ukur yang jelas dan disepakati bersama.

4. Jabatan dan Pribadi
Pada masyarakat maju dn mapan baik jabatan maupun kualitas pribadi yang menduduki jabatan merupakan sumber kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat sederhana, struktur masyarakat kekuasaan yang didasarkan atas kualitas pribadi tampak lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan. Dalam hal ini, pemimpin melaksanakan kekuasaan khususnya terhadap orang daripada lembaga-lembaga. Efektivitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi, seperti kharisma, penampilan diri, asal-usul keluarga dan wahyu.

5. Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan, sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan. Adanya kekuasaan implisit ini menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut “asas memperkirakan reaksi pihak lain”. Misalnya, Kekuasaan senat amerika serikat. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan. Dalam mengajukan calon-calon hakim agung, menteri, dan duta besar, biasanya presiden mempertimbangkan pendapat dan keinginan senat(khususnya mayoritas) hingga usul presiden disetujui oleh senat. Dalam mempertimbangkan kenyataan ini para pemimpin politik biasanya memperkirakan sungguh-sungguh kemungkinan reaksi atau kekuasaan eksplisit pihak-pihak lain sebelum melakukan suatu tindakan politik.

6. Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Sedangkan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui perantaraan pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh 
besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.

 C. Pelaksanaan Kekuasaan Politik
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kekuasaan politik atau penggunaan sumber-sumber terdapat empat faktor yang perlu dikaji, yaitu:

1. Bentuk dan Jumlah sumber
Yang termasuk dalam kategori sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi),normatif, jabatan, keahlian, informasi, status sosial, popularitas pribadi, dan masa yang terorganisasi.
Pada masyarakat maju, senjata modern tidak digunakan untuk proses politik dalam negeri. Namun hanya berfungsi sebagai penangkal dan sumber pengaruh dalam pencaturan politik internasional. Sementara itu, dalam negara-negara berkembang, sejata konvensional tidak hanya digunakan untuk mempertahankan kedaulatan dari penetrasi luar, tetapi juga untuk mematahkan oposisi dan kelompok-kelompok yang dianggap menentang kekuasaan dengan alasan demi ketertiban dan kestabilan.
Uang, emas, tanah, barang-barang berharga, dan surat-surat berharga merupakan sumber kekuasaan berupa kekayaan. Mereka yang memiliki kekayaan dalam jumlah besar setidak-tidaknya secara potensial akan memiliki kekuasaan politik. Para bankir, industrialistis, pengusaha, dan tuan tanah adalah contoh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik potensial.
Para pemimpin agama dan pemimpin suku ditaati oleh anggota masyarakatnya bukan karena senjata atau kekayaan yang mereka miliki, namun kebenaran agama yang “diwakili” dan disebarluaskan oleh pemimpin agama, dan adat dan tradisi yang dipelihara dan ditegakkan oleh pemimpin suku tersebut. Selain itu, sebagian anggota masyarakat menaati kewenangan pemerintah bukan karena takut paksaan fisik atau takut kehilangan pekerjaan, melainkan karena kesadaran hukum demi ketertiban umum dan pencapaian tujuan masyarakat-negara.
Kewenangan yang melekat dalam jabatan jelas merupakan sumber pengaruh yang efektif. Itu sebabnya, mengapa birokrasi dimanapun cenderung memiliki pengaruh yang besar tidak hanya terhadap masyarakat, tetapi juga terhadap politikus yang menjadi atasannya karena ketergantungan menteri akan informasi dan keahlian pada birokrasi. Terlebih-lebih di negara-negara berkembang ketika organisasi politik non pemerintahan masih lemah, birokrasi cenderung menguasai masyarakat daripada melayani masyarakat.
Status sosial yang tinggi dapat pula dijadikan sebagai sumber pengaruh terutama dalam masyarakat yang masih menghormati status sosial.
Masa yang terorganisasikan, seperti organisasi-organisasi buruh, petani, mahasiswa, guru, dll. Juga akan memiliki pengaruh dalam masyarakat yang memiliki sistem kepartaian kompetitif dan yang menjamin kebebasan berasosiasi.
Kemampuan pers (media masa) membentuk pendapat umum melalui pemberitaan, tajuk rencana, reportase, dan karikatur juga merupakan sumber kekuasaan.
Pemerintah yang bijaksana berupaya keras untuk tidak membuat keputusan yang bertentangan dengan pendapat umum. Dalam hal ini, media masa akan memiliki pengaruh politik hanya dalam sistem politik yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dan yang memiliki otonomi pers (tidak bergantung pada pemerintah maupun pemilik media massa). Media massa berfungsi sebagai kekuasaan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di negara-negara berkembang, pengaruh media massa sangat besar dalam pembentukan pendapat umum sehingga media massa cenderung dikontrol (langsung maupun tidak langsung) oleh pemerintah.
Selain sumber kekuasaan utama juga terdapat sumber kekuasaan pelengkap. Sumber kekuasaan palengkap itu meliputi waktu, keterampilan, dan minat atau perhatian pada sumber politik. Waktu dan keterampilan sangat penting untuk dapat menggunakan sumber-sumber kekuasaan dalam kegiatan politik, sebab tanpa waktu yang cukup dan keterampilan yang memadai untuk mengamati proses politik, melihat akses yang tersedia dan menggunakan sumber kekuasaan tersebut imaka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki tetaplah potensial sifatnya.
Tidak semua orang mempunyai minat dan perhatian pada politik. Minat ini bergantung pada persepsi orang yang bersangkutan terhadap politik, dan persepsi ini juga dipengaruhi dengan pengalaman yang bersangkutan tentang kehidupan politik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan banyaknya dan besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang merupakan penjumlahan sumber kekuasaan utama dan sumber kekuasaan pelengkap. Untuk mengatur jumlah kekuasaan yang bersifat materiil, seperti sarana kekuasaan paksaan fisik, sarana kekuasaan berupa kekayaan, keahlian, dan massa yang terorganisasi, barang kali tidak terlalu sukar. Namun junlah sumber kekuasaan yang bersifat non materiil, seperti sarana kekuasaan normatif dan popularitas pribadi mungkin sukar diukur tetapi dapat dirasakan.

2. Distribusi Sumber dalam Masyarakat
Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap masyarakat atau sistem politik, karena kemampuan setiap orang bervariasi.
Masyarakat yang stukturnya masih sederhana, distribusi pemilikan sumber – sumber relatif merata sebab selain sumber – sumber kekuasaan yang tersedia masih sedikit, juga karena hubungan antar sesama dilandasi dengan prinsip kekeluargaan, dan hubungan dengan pemimpin didasarkan pada prinsip primus interpares.
Ketika masyarakat yang sederhana ini melakukan perubahan (modernisasi) maka terjadi kesenjangan karena sebagian masyarakat tidak ikut dalam proses perubahan.Hubungan antar sesama lebih didasarkan atas egoisme, dan hubungan dengan pemimpin berubah menjadi hubungan yang hirarkis. Itu sebabnya, distribusi sumber – sumber di negara –negara berkembang cenderung tidak merata.
Di negara – negara maju distribusi sumber lebih merata dapada di negara – negara berkembang karena telah dapat mengangkat lebih banyak warga masyarakat ketingkat hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, distribusi sumber – sumber kekuasaan, antaralain ditentukan dengan susunan masyarakat, tingkat perkembangan pendidikan dan teknologi, tipe birokrasi dan tingkat, jenis dan kualitas barang dan jasa.

3. Penggunaan Sumber – Sumber
Ada 3 pilihan bagi setiap orang atau kelompok dalam menggunakan sumber kekayaan, yaitu:
a) Menggunakan sumber itu kedalam kegiatan nonpolitik.
b) Menginvetasikan sumber itu ke bank dan dunia usaha (perdagangan,industri dan jasa).
c) Menggunakan sumber itu untuk mempengaruhi proses politik baik dalam hal menjagokan calon tertentu sebagai pemimpin politik dan pemerintahan maupun dalam hal memperjuangkan kebijakan tertentu yang menguntungkan.
4. Hasil Penggunaan Sumber – Sumber  
 
a) Jumlah Individu yang Dikendalikan
Jumlah individu yang dikendalikan ialah jumlah anggota masyarakat yang menyesuaikan diri dengan kehendak pemegang kekuasaan. Contohnya, jumlah individi yang dikendalikan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan sangat bergantung pada 2 hal, yaitu tingkat kemajuan masyarakat dan tipe sistem politik yang diterapkan oleh negara itu.
b) Bidang – Bidang Kehidupan yang Dikendalikan
Bidang – bidang kehidupan yang dikendalikan ialah sektor – sektor kehidupan atau urusan – urusan yang ditangani dan dikendalikan pemegang kekuasan (pemerintah pusat). Lingkup pengaruh pemegang kekuasaan bergantung pada 2 faktor, yaitu sumber-sumber dan tipe sumber politik yang diterapkan.
Masyarakat yang memiliki sumber-sumber yang berlimpah cenderung menangani bidang-bidang kehidupan yang lebih luas, tidak hanya urusan yang menyangkut pertahanan dan keamanan, juga kesejahteraan sosial dalam arti yang seluas-luasnya.
Sistem politik otokrasi tradisional biasanya menangani urusan pertahanan dan keamanan, dan perpajakan, sedangkan perihal kesejahteraan sosial menjadi urusan individu atau kelompok dalam masyarakat. Sebaliknya, sistem politik totaliter menangani semua bidang kehidupan manusia secara menyeluruh (total) dalam rangka menciptakan dan masyarakat baru sesuai dengan gambaran ideologi totaliter.
Di samping itu, sistem politik demokrasi biasanya mengadakan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal maupun antara pemerintah dan organisasi politik dan kelompok sosial dalam masyarakat.

c) Kedalaman Pengaruh Kekuasaan
Kedalaman pengaruh kekuasaan ialah seberapa dalam perilaku individu dipengaruhi oleh faktor kekuasaan. Soal perilaku dalam pemegang kekuasaan tidak begitu memperhatikannya karena perilaku luar dianggap cerminan perilaku dalam maupun karena sarana-sarana kekuasaan yang efektif tidak tersedia.
Pengaruh pemegang kekuasaan pada sistem politik demokrasi (liberal) tidak sampai mengubah perilaku dalam dan luar. Setiap orang sadar akan hak-haknya, tetapi menghormati hak orang lain dan pemerintah menjamin hak-hak tersebut.
Anggota masyarakat di sosialisasikan melalui lembaga pendidikan dan media massa untuk berpersepsi, berorients, bersikap dan berperilaku demokratis.

D. Distribusi Kekuasaan
Menurut Andrain, ilmuwan politik biasanya menggambarkan distribusi kekuasaan dalam tiga model yakni model elit yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model pertama melukiskan kekuasaan sebagai dimiliki oleh kelompok kecil orang yang disebut elit. Model pluralis menggambarkan kekuasaan sebagai dimiliki dengan berbagai kelompok social dalam masyarakat dan berbagai lembaga dalam pemerintahan, lalu model populis melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara atau rakyat secara kolektif.

1. Elit yang Memerintah
Asumsi yang mendasari model ini, setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan yang memiliki kekuasaan politik dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik sedikit sekali apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat negara. Asumsi kedua, jumlah orang yang memerintah suatu masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Asumsi ketiga, diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik.

2. Model Pluralis
Asumsi yang mendasari model ini ialah setiap individu menjadi anggota satu atau lebih kelompok sosial atau kekuatan sosial tertentu sesuai dengan aspirasi dan kepentingan yang bersifat kultural dan ideologis maupun yang berdasarkan okupasi dan profesi seperti aspirasi ekonomi. Kelompok kepentingan atau kekuatan sosial ini berfungsi sebgai wadah memperjuangkan kepentingan para anggota dan menjadi perantara antara para anggotanya dan pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. 

3. Model Populis ( Kerakyatan )
Asumsi yang mendasari model kerakyatan adalah demokrasi. Artinya partisipasi individu warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksaan keputusan politik yang jelas akan mempengaruhi sendi kehidupan individual dan sosial dalam masyarakat. Kunci utama demokrasi sebagai suatu pandangan hidup, yakni partisipasi setiap individu yang telah dewasa dalam pembentukan nilai-nilai yang mengatur hidup mereka. Jadi, demokrasi menghendaki partisipasi rakyat dalam mengalokasikan dan mendistribusikan nilai-nilai kepada masyarakat.
 
E. Kekuasaan menurut Budaya Jawa
Dari berbagai penjelasan mengenai konsep atau gagasan kekuasaan dalam pandangan dunia Jawa diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Hal pertama yang dapat kita tangkap adalah bahwa kekuasaan tidak hanya berupa hal-hal yang lahiriah, namun kekuasaan juga dimaknai seperti segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam, kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh dunia. Adapun sifat-sifat yang melekat dalam kekuasaan dipandang dari dunia Jawa antara lain:

1. Kekuasaan bersifat konkret
Kekuasaan dalam dunia Jawa dimaknai sebagai suatu kekuasaan politik, dimana kekuasaan yang ada adalah suatu bentuk ungkapan kasekten (kekuatan yang sakti).

2. Kekuasaan itu homogen
Kekuasaan dalam paham Jawa hanyalah merupakan ungkapan realitas yang sama, karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang sama, dan mempunyai kualitas yang sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan yang satu yang meresapi seluruh dunia ini.

3. Kekuasaan bersifat konstan/tetap
Dalam pandangan dunia Jawa, dalam kekuasaan yang dapat berubah hanyalah pembagian kekuasaan dalam dunianya saja. Pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.

4. Kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan
Kekuasaan yang besar diperlihatkan dari besarnya wilayah kekuasaan, dan semakin eksklusif segala kekuatan dalam kerajaannya berasal dari padanya.

5. Kekuasaan nampak dalam ketenangan
Sikap tenang menunjuk pada inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan kekuatan batin seorang pemimpin, dimana seorang penguasa harus bersikap alus, yang berarti bahwa sebagai seorang pemimpin dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna hingga memiliki kekuatan batin.

6. Kekuasaan dalam pandangan Jawa bersifat metempiris
Cara memperoleh kekuasaan tidak dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pemusatan tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan, relasi, dan lain sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja diperoleh, namun harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan.

7. Kekuasaan hilang apabila pemimpin mulai menunjukkan pamrihnya
Apabila seorang pemimpin berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya maka ia mulai menunjukkan sikap pamrihnya. Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa berdampak pada hilangnya kekuatan kosmik pada dirinya yang berakibat pada larutnya kekuasaan pada dirinya.

8. Dalam kekuasaan tidak diperlukan suatu legitimasi
Raja sebagai sumber kedaulatan. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal demikianlah yang menyebabkan tidak perlunya hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya.

9. Kekuasaan dinilai dari hasil yang dicapai
Kekuasaan dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil yang dicapainya. Apabila 
rakyat sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat kekuasaan sang Raja itu.

Dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep kekuasaan Jawa sangat bertolak belakang dengan pemahaman kekuasaan dari dunia Barat. Paham Barat menyatakan adanya tendensi dalam memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang selalu instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral dalam arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa yang menyatakan bahwa kekuasaan lebih dari kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain saja.

Ilmu Politik Perberdaan antara Kekuasaan dan Kewenangan:
  
1. Kekuasaan

Power sering diartikan sebagai kekuasaan. Sering juga diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain, untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesselshaft menyatakan, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan. Pernyataan ini menjadi rujukan banyak ahli, seperti yang dinyatakan Harold D. Laswell dan A. Kaplan,” Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak pertama.”
  
2. Kewenangan

Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan. Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi.

Kewenangan digunakan untuk mencapai tujuan pihak yang berwenang. Karena itu, kewenangan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan. Robert Bierstedt menyatakan dalam bukunya an analysis of social power , bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Seseorang yang memiliki kewenangan berhak membuat peraturan dan mengharapkan kepatuhan terhadap peraturannya.
Power (kekuasaan) dan authority (wewenang) saling terkait; power = informal authority, authority = legimate power.
Power tidak membutuhkan legitimasi sedangkan authority membutuhkan legitimasi dan membutuhkan power. Authority merupakan hak untuk memanipulasi atau merubah orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Histats