Kaki kecilnya tak pernah berhenti melangkah menyusuri liku-liku jalan
yang dipenuhi hiruk pikuk masyarakat kota. Tangan lihainya menjajakan
sebuah kue sederhana khas kota tempat kelahirannya, demi menyambut esok
pagi yang lebih baik. Walau usianya sudah semakin renta, nenek tua itu
masih semangat untuk berjualan, ia tak mau bergantung pada nasib anak
cucunya. Ia yakin, ia mampu menghidupi dirinya sendiri dengan hasil
jerih payahnya sendiri.
Senyumnya selalu terukir di wajahnya yang mulai keriput kepada setiap
orang yang ia temui sepanjang jalan. Rasanya matahari semakin meninggi.
Bulir demi bulir keringatnya pun mulai berjatuhan dari dahinya yang
bertatapan langsung dengan sang mentari, menandakan ion tubuhnya mulai
menipis. Terkadang jika ia begitu merasa lelah, ia selalu sempatkan diri
untuk duduk sebentar di pinggir trotoar sambil menengguk beberapa tetes
air mineral yang setidaknya dapat menjadi oase di gurun tenggorokannya.
Langkahnya kembali terpadu, mulutnya kembali menyuarakan hal yang
sama, berharap seseorang dapat menghampiridan membeli kue yang sudah ia
buat sejak pagi buta itu. teriakannya pun berbuah manis, seorang gadis
kecil bergaun merah menghampiri nenek tua itu sambil membawa selembar
uang lima ribuan. Nada bicaranya yang masih sedikit cempreng pun
berhasil mengukir satu senyuman di bibir kering nenek tua itu.
Detik jam terus berlalu. Terkadang takdir memang tak searah dengan
apa yang kita dambakan. Sore itu, hujan deras kembali mengguyur kota
yang cukup padat penduduk ini. Kendaraan-kendaraan pribadi yang
bertebaran sepanjang jalan pun seakan menambah riuh suara hujan yang
kian deras. Jalanan pun makin licin dan becek, membuat sang nenek tua
itu susah berjalan untuk kembali ke peraduannya.
Petang datang menyambar. Nenek tua itu masih merenungi nasibnya untuk
esok pagi. Kue yang tadi ia jual belum juga seberapa karena terpotong
deras hujan yang mengguyur habis permukaan kota. belum lagi cadangan
kayu bakar untuk kompor tungkunya telah habis, mungkin jika petang ini
tidak hujan, ia akan sempatkan diri menuju hutan yang cukup belantara
untuk mencari batang-batang kayu yang memenuhi sisi hutan. Tapi, kini ia
hanya bisa merenung, berharap keajaiban bisa menjemputnya di sela
milyaran manusia yang ingin juga dijemput oleh sang keajaiban.
Suara lantunan ayat-ayat suci menjadi penghias malam temaramnya.
Setidaknya rumah bambu yang ia tempati itu akan menjadi lebih hidup
karena lantunan ayat Tuhan itu.
“Hanya kepadamulah hamba menyembah dan hanya kepadamulah hamba memohon
pertolongan.” Sebaris do’a yang dapat ku dengar dari bilik bambu rumah
yang mulai rapuh itu.
Begitu kasihan nenek tua itu, hidup sendiri dalam rumah yang mulai
rapuh termakan usia. Kemanakah anak-anaknya? Apa mereka lupa atas jasa
yang telah diberikan sang ibu pada mereka? Mengapa sang anak tega
membiarkan ibunya hidup sebatang kara seperti itu? Tidakkah ada rasa
kasihan di hati mereka? Apakah mereka telah mati, atas gelimpangan harta
yang telah mereka miliki sekarang? Oh, mengapa aku jadi berfikir
seperti ini? Aku tidak pantas berprasangka buruk pada anak nenek tua
itu.
Pagi-pagi sekali ia sudah keluar dari peristirahatannya. Mencoba
sejenak menghirup udara pagi dan mengisi perutnya dengan beberapa potong
kue bekas kemarin.
Dengan langkah kecilnya, ia menuju hutan belantara itu, ditebarnya
pandangan ke seluruh sisi hutan supaya dapat mempercepat pencarian kayu
bakar yang akan ia gunakan untuk memasak kue-kue kecilnya.
Senyumnya kembali terukir saat ia melihat hamparan kayu-kayu kering di
tengah hutan itu. Dengan lihai, ia mengumpulkan semua kayu-kayu itu dan
diikatnya dengan kuat. Walau badannya mulai rapuh, ia masih mampu
membopong kayu-kayu itu, setidaknya sampai tepat di samping rumah
bambunya. Karena disitulah ia mulai membuat kue kecilnya yang dulu ia
pelajari dari sang ibu.
Waktu masih berlalu. Matahari pun mulai menyorotkan sinarnya hingga
ke ujung bumi pertiwi. Hari ini ia sedikit terlambat untuk memulai
aksinya. Hujan di sore itu memang sedikit membuatnya merugi, tapi apa
yang bisa ia perbuat? itu sudah ketetapan Tuhan untuk mengatur segala
sesuatu yang akan terjadi di alam semesta ini.
Kembali berteman dengan debu-debu. Kembali ke jalan megah
metropolitan. Mungkin ia hanya sebagian kecil dari metropolitan ini,
tapi setidaknya ia ikut meramaikan perjalanan kota. Sudah bertahun-tahun
ia mencoba menjemput pundi-pundi rupiah di tempat ini. Walau ia tahu,
makanan modern lebih diminati masyarakat kota, tapi mimpinya mungkin
nyata, setidaknya masih ada yang setia dengan makanan tradisional
seperti apa yang ia jajakan.
Aku tersenyum melihat nenek tua itu begitu bersemangat menjajakan
dangannya di sisi jalan ibukota ini. Usia boleh saja tua, tapi
semangatnya seakan tak pernah tua. Aku tau, ia begitu lelah tapi ia
tetap mampu membentangkan senyum di kedua bibir mungilnya.
Aku pun terheran, mengapa anak muda jaman sekarang lebih memilih
untuk ngganggur daripada mencari pekerjaan, walau kerjaan itu dianggap
remeh oleh sebagian orang. Apa mereka gengsi? jika setidaknya mereka
menjual koran-koran ataupun sekedar menjual minuman pelepas dahaga di
sisi-sisi jalan. Usia anak muda pasti belum mencapai kepala 3, tapi
mengapa semangatnya sudah seperti kakek renta yang dengan pasrah
dititipi di panti jompo? Aku tidak habis fikir.
Kembali ke nenek tua itu. hari ini ia cukup beruntung, karena ia
pulang sambil membawa keranjang jualannya saja. Ya! semua kue nya laku
terjual. Hujan tak lagi menjadi penghalang pundi rupiahnya.
Ia kembali terduduk di atas sajadah tua kenang-kenangan dari ayahanda
tercintanya. Sajadah tua itu selalu menemani sang nenek untuk mengadu
kepada Tuhan. Tapi bukan aduan lagi yang kini ia dengar dari mulut nenek
tua itu, tapi ucapan syukur yang tak henti-hentinya keluar. Sang nenek
berkali-kali sujud syukur atas peruntungannya hari ini. Ditemani lampu
temaram yang sekiranya cukup untuk menerangi tubuh dan sajadah tua nya.
Pagi kembali menjemput. Kembali berteman dengan debu-debu. Kembali ke
jalan megah metropolitan. Membanting tulang yang kian rapuh, demi 1
rupiah yang ia tunggu.
Nek, semoga langkahmu tetap tegar walau tak lagi tegap.
Semoga semangat mudamu tetap bersinar, walau langit memaksa meradang.
Semoga mimpi-mimpimu ‘kan selalu hidup walau hanya sebagai bunga malam.
Nenek tua di sisi kota,
Cerpen Karangan: Tutut Setyorinie
Home »
Bacaan Cerpen dan Tips
» Nenek Tua di Sisi Kota,
Nenek Tua di Sisi Kota,
Posted by Fredy Bagus Kusumaning Yandi
Posted on 05.54
with No comments
0 komentar:
Posting Komentar